Taruh
Masihkah melihatku? Masihkah
merasakanku? Benarkah?
Aku
meragukanmu, aku meragukan ketulusanmu setelah pengakuanmu menjadi pecundang.
Meragukanmu, itu manusiawi untuk menghadapimu. Tapi, kenapa aku harus merasa
manusiawi padamu? Bukankah seharusnya aku tak pernah bisa manusiawi, aku Bulan.
Bukan seorang! tapi aku Bulan, dan lihat sekarang apa yang terjadi? Kemanusiaanmu
yang lemah merasuk perlahan dalam merusakku.
Selalu
ada yang pertama kali untuk kemudian selanjutnya. Tentu saja kumaklumi karena
ini pertama kalinya. Lingkaran cincin mengalihkanmu kali ini, dan mungkin akan ada
lingkaran cincin yang berkuasa lainnya. Kumaafkan kali ini dan pasti akan terulang
lagi. Berani mencoba bertaruh denganku?
Kalah
karena bertaruh denganku tak akan membuatmu mati, menghilang mungkin. Tapi perlukah
dirimu menghilang? Atau memang itu tujuanmu mengindahkanku. Jangan mengajakku
bergurau, tak mungkin aku melepaskanmu segampang itu, selalu ada aturan yang
menyusahkan untuk dia pengikutku.
Jujurlah dulu dengan dirimu sendiri, logika di
pikiranmu dan lubang di hatimu tak akan bisa saling menyembuhkan. Bisakah
dirimu mengikuti aturanku yang pertama itu? Aku memaksamu mengikuti caraku, kutunggu
kekalahanmu. Aku senang dengan kepastian tawa kemenanganku, aku tahu alasanmu
berlari padaku. Karena menjadi pecundang. Pecundang tak akan bisa menyembuhkan
dirinya sendiri. Karena apa? Karena memandang bayangannya sendiri saja tak
berani. Bukankah begitu, Ulan?
Komentar
Posting Komentar