Pecundang Tak Layak


Kali ini bulan terlihat istimewa, meski terang tak sampai setengah. Ulan memperhatikan terangnya, dari kamar, berebut pandangnya dengan jemuran kutang. Terangnya terlihat, tapi tak bisa menyilaukan pikirannya, terang karena iba. Dan kenapa harus berebut pandang dengan kutang. Sandang yang hanya di balik layar, murahan jika terlihat, seperti pecundang yang takut dengan stigma. Dasar kamu pecundang!
Akui saja, “Aku memang pecundang!” Kebetulan menjadi pecundang. Teralihkan perhatianku hanya dengan barang tak berharga. Segampang itukah hargamu? Dasar pecundang! Memangnya ada yang berharga lagi di duniamu? Sebutkan! Atau dirimu sudah tak punya dunia? Bulan itu saja mati, yang kau istimewakan itu tak punya dunianya, hidup hanya karena rasa iba. Sama seperti dirimu. Merenung. Merenung? Salahkah aku mengistimewakannya?
Tambahkan ini untuk renunganmu, lusa bukan waktunya untuk bulan. Lihat ke langitmu yang sama denganku, dirinya dipaksa mengalah dengan lingkaran cincin yang mendekat. Hanya sehari saja mendekat,  dan mungkin pecundang sepertimu akan teralihkan juga.


Komentar

Postingan Populer